 |
foto:rumahkeadilan.co.id |
oleh: Susiana,MA
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan
mendidik anak adalah kewajiban bagi orang tua, karena apabila anak yang masih
kecil dan belum mumayyiz tidak dirawat dan didik dengan baik, maka akan
berakibat buruk pada diri dan masa depan mereka, bahkan bisa mengancam
eksistensi jiwa mereka. Oleh karena itu anak-anak tersebut wajib dipelihara,
diasuh, dirawat dan dididik dengan baik. Sebagaimana yang dikemukakan dalam
ayat berikut:
Firman Allah dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 233 dijelaskan bahwa :
Artinya :
“Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“ (QS.AlBaqarah:233)
Meskipun ayat tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa tanggung jawab
pemeliharaan anak menjadi beban yang harus dipenuhi suami sebagai ayah, namun
pembebanan ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat di
dalamnya. Hal ini diperkuat lagi dengan ilustrasi apabila anak tersebut disusukan
oleh perempuan lain yang bukan ibunya sendiri, maka ayahnya bertanggung jawab
untuk membayar perempuan yang menyusui anaknya tersebut.
Hal ini
dikuatkan dengan tindakan Rasulullah saw. ketika suatu hari beliau menerima
aduan dari Hindun binti Utbah, yaitu :
Dari Aisyah ra., Ia berkata: “Hindun putri Utbah pernah datang dan berkata
: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah lelaki yang sangat
kikir, berdosakah aku jika aku memberi makan dari (hasil) suamiku?”, beliau
bersabda: “Tidak, jika dalam kebaikan” . Sedangkan dalam Kompilasi Hukum
Islam, kewajiban mengasuh dan memelihara anak merupakan kewajiban bersama
antara suami dan istri. Hal ini tercantum dalam pasal 77 ayat (3) yang berbunyi
:
“Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka,
baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya, dan pendidikan
agamanya”.
Sejatinya,
seorang anak membutuhkan figur kedua orang tua (ayah dan ibu) dalam
perkembangan kematangan kepribadiannya. Oleh karenanya, Nancy Chodorow salah
seorang psikolog yang mengembangkan gagasan tentang teori Pengembangan
Kepribadian menyoroti bahwa mothering (pengasuhan anak yang dilakukan oleh Ibu
semata), telah menghasilkan pengalaman yang berbeda pada anak laki-laki maupun
perempuan. Anak perempuan menjadi memiliki hasrat lebih untuk bisa dekat dan
menyerupai figur ibunya, dan anak lak-laki menjadi bersikap mendominasi yang
kurang bisa menghargai perempuan. Dengan demikian, untuk membebaskan anak
laki-laki dan anak perempuan dari situasi tidak bisa menghargai ataupun menjadi
tidak dihargai ini, ia menyatakan, “any strategy for change whose goal
includes liberation from the constraints of an unequal social organization of
gender must take account of the need for a fundamental reorganization of
parenting, so that primary parenting is shared between men and women.”
(semua strategi untuk perubahan yang tujuannya termasuk pembebasan dari
hambatan dari situasi pengorganisasian sosial yang tidak adil karena jenis
kelamimn harus memperhatikan kebutuhan akan reorganisasi mendasar atas
parenting (pengasuhan anak), oleh karenanya pengasuhan anak harus dilakukan
bersama antara laki-laki dan perempuan). Meskipun Chodorow sempat
meragukan kemampuan laki-laki dalam hal pengasuhan anak akibat pembakuan
pembagian kerja yang terjadi selama ini, namun dalam perkembangan situasi
kontemporer yang kita lihat kini banyak laki-laki yang memiliki
kapabilitas dalam hal pengasuhan anak bersama-sama dengan perempuan.
Figur
laki-laki sebagai tokoh pendidik, dipersonifikasikan secara baik melalui fiqur
Lukman yang kisahnya diabadikan sebagai salah satu nama Surah dalam Alquran.
Lukman juga menekankan pada pentingnya menghormati figur Ibu sebagai pihak yang
memiliki andil besar dalam hal regenerasi di dalam keluarga yang merupakan inti
terkecil di dalam masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan Allah dalam Al Qur’an
:
Artinya :
“Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang
tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (12)
dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".(13) dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. “(14) (QS. Luqman :
12-14)
Pengasuhan dan pemeliharaan yang termasuk di dalamnya adalah nafkah untuk anak
supaya anak terpenuhi kebutuhan-kebutuhanya ini bukan hanya berlaku selama ayah
dan ibunya masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut
setelah terjadi perceraian.
Adapun dasar hukum yang
melandasinya adalah firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233 yang
berbunyi :
Artinya :
“Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan
istrinya”.
Urutan Orang Yang Berhak Atas Hadhanah
Dalam konsep fiqh, ada dua periode bagi anak yang dalam hal ini ada kaitanya
dengan hadhanah. Yaitu masa sebelum mumayyiz dan masa sesudah mumayyiz. Periode
sebelum mumayyiz adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau
delapan tahun .Pada masa itu umumnya seorang anak belum mumayyiz artinya belum
bisa membedakan antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya bagi dirinya. Pada
periode ini setelah melengkapi syarat-syarat sebagai pengasuh, ulama
menyimpulkan bahwa pihak ibu lebih berhak terhadap anak untuk selanjutnya
melaksanakan kewajiban hadhanah.
Kesimpulan ini didasarkan antara
lain atas hadis riwayat Abu Daud dan Ahmad yang menceritakan bahwa seorang ibu
mengadu kepada Rasulullah saw. tentang anak kecilnya (yang belum mumayyiz),
dimana mantan suaminya bermaksud untuk merebut anak mereka setelah
menceraikanya. Lalu Rasulullah saw. bersabda:
Artinya :
“Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid as Sulami, telah menceritakan
kepada kami al Walid dari Abu Amr al Auza’i, telah menceritakan kepadaku Amr
bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah binAmr bahwa seorang
perempuan berkata;“Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah
tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah
rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku”.
Kemudian Rasulullah saw. berkata kepadanya; “Engkau (ibu) lebih berhak
terhadapnya selama engkau belum menikah”.
Keputusan
Rasulullah saw. itu bisa ditafsirkan dengan adanya pertimbangan bahwa pada umur
tersebut seorang ibu lebih mengerti dengan kebutuhan anak dan lebih bisa
memperlihatkan kasih sayangnya. Demikian pula anak dalam masa itu sedang sangat
membutuhkan untuk hidup dekat ibunya. Sejalan dengan itu pula keputusan Abu
bakar tentang kasus Umar bin Khattab dengan bekas istrinya.
Umar bin
Khattab dengan bekas istrinya mendapat seorang anak yang diberi nama Ashima,
kemudian ia bercerai dari istrinya. Pada suatu hari Umar bin Khattab pergi ke
Quba,ia mendapati anaknya itu sedang bermain. Ketika Umar hendak memegang
anaknya itu dengan maksud untuk membawanya pergi, terjadilah pertengkaran
dengan pihak ibu. Kasus ini disanpaikan kepada Khalifah Abu Bakar dan ia
memutuskan menetapkan bahwa anak itu ikut ibunya (riwayat ibnu Abi Syaibah). 20
Periode kedua
adalah periode mumayyiz. Masa mumayyiz adalah dari umur baligh berakal
menjelang umur dewasa. Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu
membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh
karena itu, ia sudah dianggap mampu menjatuhkan pilihanya sendiri untuk memilih
hidup bersama ayah atau ibunya.
Landasan
hukum dari hal tersebut adalah hadis riwayat Imam at-Tirmidzi dalam Sunan
an-Nasai yang menceritakan seorang perempuan mengadukan tingkah laku bekas
suaminya yang hendak merebut anak mereka berdua yang telah mampu menolong
mengangkat air dari sumur. Hadis tersebut diartikan sebagai berikut :
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul A’la ia berkata; telah
menceritakan kepada kami Khalid ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu
Juraij ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Ziyad dari Hilal bin Usamah dari
Abu Maimunah ia berkata, “Saat aku bersama Abu Hurairah, ia berkata, “Seorang
perempuan datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ayah dan ibuku sebagai
tebusanmu. Sesungguhnya suamiku ingin pergi membawa anakku, dan anak tersebut telah
memberiku manfaat, ia membawakan aku air dari sumur Abu Inabah.” Kemudian
suaminya datang dan berkata, “Siapakah yang berselisih denganku mengenai
anakku?” Kemudian beliau bersabda: “Wahai anak kecil, ini adalah ayahmu dan ini
adalah ibumu. Gandenglah tangan salah seorang dari mereka yang engkau
kehendaki”. Kemudian anak tersebut menggandeng tangan ibunya, maka ia pun pergi
bersamanya”
Adanya
pengakuan Rasulullah atas pilihan anak itu barangkali karena dalam kasus
tersebut memang anak itu lebih pantas dan lebih baik untuk ikut bersama ibunya.
Dalam kasus lain dimana Rasulullah saw. melihat pilihan anak itu merugikan
dirinya, beliau menolak pilihan anak tersebut dan memutuskan berlainan dengan
anak tersebut.
Dalam hadis
riwayat Abu Daud, terdapat cerita tentang kasus Rafi’ bin Sinan dimana waktu
telah masuk Islam, istrinya tidak mau mengikutinya dan tetap sebagai musyrikah.
Mereka mempunyai seorang anak. Dalam memutuskan siapa yang lebih berhak
terhadap anak itu Rasulullah menghadirkan semua pihak, yaitu ayah, ibu dan
anaknya. Ketika itu sang anak lebih memilih ibunya yang non muslim. Rasullulah
saw. tidak setuju dengan pilihan anak tersebut, lalu Rasulullah berdoa semoga
Allah memberi petunjuk terhadap anak tersebut. Akhirnya anak itu berubah sikap
dan memilih ayahnya yang telah masuk Islam.
Artinya :
Dari Rafi’ bin Sinan ra. Ia masuk Islam tetapi istrinya tidak mau
(mengikutinya) masuk Islam. Maka Nabi saw. mendudukkan sang ibu di satu sudut
dan sang ayah di sudut yang lain, kemudian beliau dudukkan si anak di antara
keduanya. Ternyata si anak itu condong kepada ibunya, maka beliau berdoa “Ya
Allah, berilah ia petunjuk”, dan kemudian ia condong kepada ayahnya, maka
sang ayah mengambilnya. (HR. Abu Daud dan an-Nasa’I, hadis ini dinilai
shahih oleh al-Hakim)
Dari kasus tersebut di atas,
mengapa Rasulullah tidak “merestui” putusan anak itu untuk memilih ibunya yang
non muslim, karena pilihan seperti itu jelas bertentangan dengan kepentingan
anak itu sendiri, yang sudah jelas belum terlihat oleh anak yang masih dalam
periode mumayyiz, seperti dalam kasus tersebut. Berdasarkan hadis ini, sebagian
ulama tidak lagi menyerahkan secara mutlak kepada pilihan sang anak. Jika dalam
suatu kondisi di mana pilihan anak itu tidak memberikan mashlahat kepadanya,
hakim boleh mengubah putusan itu dan menentukan mana yang lebih mashlahat bagi
mereka.
Laki-laki dan
perempuan memang mempunyai hak untuk mengasuh anaknya selama mereka tidak
mempunyai halangan yang mencegahnya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa
urutan yang pertama yang lebih berhak mengasuh adalah ibu, karena biasanya
lebih mampu mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta membimbing anaknya,
sedangkan laki-laki biasanya hanya punya kemampuan dan kewajiban untuk
menjaga,melindungi anaknya secara fisik. Seorang ibu dipandang lebih mampu
mendidik karena ibu mempunyai kesabaran yang lebih dibanding ayah untuk
melakukan tugas ini.
Jika ada
suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukan, maka yang berhak selanjutnya
adalah ibu dari ibunya (neneknya) dan seterusnya ke atas. Apabila tidak ada
beralih ke nenek dari ayah (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas. Apabila garis
vertikal tersebut tidak ada, maka berpindah kepada keluarga yang berhubungan
horisontal, yaitu saudara perempuan kandung, kemudian saudara perempuan seayah,
kemenakan (anak perempuan saudara perempuan kandung, kemudian anak perempuan
saudara perempuan seibu).
Urutan
berikutnya, apabila kemenakan tersebut tidak ada, hak asuh berpindah kepada
bibi kandung (saudara perempuan kandung ibu), kemudian bibi seibu, kemudian
bibi seayah. Apabila bibi itu tidak ada, maka berpindah kepada kemenakan (anak
perempuan saudara perempuan seayah).
Apabila
kerabat-kerabat tersebut di atas tidak ada semua, maka hak asuh jatuh ke tangan
kemenakan (anak perempuan saudara laki-laki kandung), kemudian kemenakan seibu,
kemudian kemenakan seayah. Apabila kemenakan-kemenakan tersebut tidak ada,
berpindah ke bibi (saudara perempuan ayah) kandung, kemudian bibi seibu,
kemudian bibi se-ayah. Apabila bibi tersebut tidak ada, berpindah kebibi ibu
(saudara perempuan ibunya ibu), kemudian bibi ayah (saudara perempuan ibunya
ayah), kemudianbibi ayah (saudara perempuan ayahnya ayah).
Apabila
kerabat-kerabat tersebut tidak ada, atau ada tetapi tidak memenuhi syarat, maka
hak asuh pindah kekerabat ashabah laki-laki dengan urutan seperti hukum waris.
Yaitu ayah, kakek (ayahnya ayah) dan seterusnya ke atas garis laki-laki.
Kemudian saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, kemenakan
laki-laki kandung, kemenakan laki-laki seayah, paman kandung, paman seayah
(saudara laki-laki kakek) kandung, kemudian paman seayah.
Apabila
ashabah laki-laki tersebut tidak ada atau ada tetapi tidak memenuhi syarat,
maka hak asuh pindah ke kerabat laki-laki bukan ashabah yaitu kakek (bapak dari
ibu), saudara laki-laki seibu, kemudian paman seibu (anak laki-laki saudara
laki-laki seibu), kemudian paman seibu (saudara laki-laki ayah seibu),
kemudian paman (saudara laki-laki kandung ibu), paman seayah, kemudian paman
seibu. Apabila kerabat-kerabat tersebut tidak ada, maka hakim menunjuk siapa
yang akan mengasuh anak tersebut.
Syarat-syarat Hadin dan Hadhinah
Seorang hadhin atau hadhinah
harus mempunyai kecakapan dan kecukupan atau syarat-syarat yang harus
terpenuhi, jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka gugurlah kebolehan untuk
mengasuh anak. Syarat- syarat yang harus terpenuhi adalah sebagai berikut :
1. Berakal sehat.
Seseorang yang kurang akalnya atau gila tidak boleh mengasuh anak
dikarenakan mereka tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Orang gila atau orang
yang kurang akalnya dianggap tidak mempunyai apa-apa, sehingga ia tidak bisa
memberi apa-apa kepada orang lain. Oleh karena itu orang yang gila atau kurang
akalnya tidak boleh diserahi tugas mengasuh anak.
2. Dewasa (baligh)
Seseorang yang belum dewasa (baligh) tidak boleh untuk mengasuh orang lain.
Sekalipun ia sudah mumayyiz ia tetap membutuhkan orang lain untuk mengurusi
urusanya dan mengasuhnya, oleh karena itu seseorang yang belum baligh tidak
boleh untuk mengasuh anak.
3. Memiliki kemampuan untuk mengasuh,
merawat dan mendidik anak.
Orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan
jasmaninya tidak boleh menjadi pengasuh untuk mengurus kepentingan anak yang
membutuhkan asuhan. Selain itu orang yang berusia lanjut juga tidak boleh
menjadi pengasuh karena ia sendiri membutuhkan bantuan orang lain untuk
mengurus dirinya. Orang yang suka mengabaikan urusan rumahnya juga tidak boleh
untuk mengasuh karena ia bisa merugikan kepentingan sang anak. Orang yang
tinggal bersama orang yang mempunyai penyakit menular atau orang yang tinggal
bersama dengan orang yang suka marah-marah kepada anak kecil sekalipun anak
kecil tersebut adalah kerabatnya juga tidak boleh untuk mengasuh, karena
kemarahanya itu ia tidak bisa memperhatikan kepentingan si anak secara sempurna
dan menciptakan suasana yang tidak baik bagi perkembangan sang anak
4. Dapat dipercaya, amanah dan berbudi baik.
Orang yang curang tidak aman bagi anak kecil yang membutuhkan asuhan, dan ia
tidak dapat dipercaya untuk bisa menunaikan kewajibanya dengan baik. Terlebih,
anak bisa meniru sifat-sifat buruk orang yang mengasuhnya, maka orang yang
tidak dapat dipercaya dan tidak mempunyai akhlak dan budi pekerti yang baik
tidak boleh untuk mengasuh.
5. Beragama Islam.
Anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim. Hal ini
karena hadhanah merupakan masalah perwalian, sedangkan Allah swt. tidak
membolehkan orang mukmin di bawah perwalian orang kafir, karena dikhawatirkan
jika anak kecil yang diasuh oleh orang yang beragama selain Islam ia akan
dibesarkan dengan agama pengasuhnya dan dididik dengan tradisi agamanya
sehingga sukar bagi anak untuk tetap beragama Islam.
Golongan
Hanafi, Ibn Qosim dan bahkan Maliki serta Abu Tsaur berpendapat bahwa, hadhanah
tetap dapat dilakukan oleh seorang pengasuh yang kafir, sebab hadhanah
itu tidak lebih dari menyusui dan melayani anak kecil. Sekalipun menganggap
orang kafir boleh menangani hadhanah tetapi golongan Hanafi juga menetapkan
syarat-syarat, yaitu bukan kafir murtad. Jika seorang ibu kafir secara murtad,
maka menurut golongan Hanafi, ia berhak dipenjarakan hingga ia taubat dan
kembali kepada Islam, karena itu ia tidak boleh diberi hak untuk mengasuh anak
kecil. Akan tetapi, jika ia kembali kepada Islam, maka hak hadhanah nya juga
kembali.
Hampir sama yang dikemukakan dalam pandangan di
atas, syarat-syarat seorang Pendidik (Hadhin atau Hadhinah), yang disimpulkan
oleh H. Sulaiman Rasyid dalam bahasa yang lebih umum adalah sebagai berikut :
1. Berakal.
2. Merdeka.
3. Menjalankan agama.
4. Dapat menjaga kehormatan dirinya.
5. Orang yang dipercayai.
6. Orang yang menetap di dalam negeri anak yang dididiknya.
7. Keadaan perempuan tidak bersuami; kecuali kalau dia
bersuami dengan keluarga dari anak yang memang berhak pula untuk
mendidik anak itu, maka haknya tetap.
Pengasuhan Anak yang Tidak Berada dalam Pernikahan.
Tidak semua anak terlahir dalam sebuah pernikahan. Sehingga konsep pengasuhan
(Hadhanah) dalam Islam akan sulit diterapkan untuk mereka. Dalam hal ini
pengasuhan dalam perspektif Islam masih membutuhkan upaya serius untuk
mengembangkannya agar menjamin hal seorang anak apapun dan bagaimanapun
kondisinya.
Menurut Dr.
Abdul Manan, anak di luar pernikahan merupakan anak yang dilahirkan oleh
seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan
yang sah dengan laki-laki yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar
pernikahan adalah hubungan seorang laki-laki dan perempuan yang dapat
melahirkan keturunan, sedangkan mereka tidak dalam ikatan pernikahan yang sah
menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya anak
di luar pernikahan, diantaranya adalah:
1. Anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, tetapi perempuan
tersebut tidak mempunyai ikatan pernikahan dengan laki-laki yang menyetubuhinya
dan tidak mempunyai ikatan pernikahan dengan laki-laki lain.
2. Anak yang lahir dari seorang perempuan, kelahiran tersebut
diketahui dan dikehendaki oleh salah satu ibu bapaknya, hanya saja salah satu
atau keduanya masih terikat pernikahan yang lain.
3. Anak yang lahir dari seorang perempuan tetapi laki-laki
yang menghamilinya itu tidak diketahui, misalnya akibat korban perkosaan.
4. Anak yang lahir dari seorang dalam masa Iddah
penceraian, tetapi anak itu merupakan hasil hubungan dengan laki-laki yang
bukan suaminya.
5. Anak yang lahir dari seorang perempuan yang ditinggal
suami lebih dari 300 hari dan anak tersebut tidak diakui oleh suaminya sebagai
anak sah.
6. Anak yang lahir dari seorang perempuan padahal agama yang
mereka peluk menentukan lain, misalnya dalam agama Katholik tidak mengenal
adanya cerai hidup, tetapi dilakukan juga, kemudian ia kawin lagi dan
melahirkan anak, anak tersebut dianggap anak di luar pernikahan.
7. Anak yang lahir dari seorang perempuan, sedangkan pada
mereka berlaku ketentuan negara melarang mengadakan pernikahan misalnya, WNA
dan WNI tidak mendapat izin dari kedutaan besar untuk mengadakan pernikahan,
karena salah satu dari mereka telah mempunyai suami atau istri tetapi mereka
tetap campur dan melahirkan anak, maka anak tersebut merupakan anak luar
pernikahan.
8. Anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, tetapi anak
tersebut sama sekali tidak mengetahui orang tuanya.
Kedudukan anak dalam Undang Undang Perkawinan
terdapat pada Pasal 42, 43 dan 44, yang bunyinya sebagai berikut :
Pasal 42 : “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagaiakibat perkawinan yang sah”.
Pasal 43 : (1) “Anak yang lahir di luar pernikahan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan
anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan
pemerintah”.
Pasal 44 : “Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak
yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut”.
Berdasarkan
pasal-pasal UU Perkawinan di atas, permasalahan anak di luar pernikahan di atur
pada pasal 43 Ayat (1) yang berbunyi “Anak yang lahir di luar pernikahan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Menurut hemat
penulis hal ini terasa kurang adil, akibat perbuatan berdua, tetapi hanya
seorang ibu yang melahirkannya dan bertanggung jawab pula mengasuh dan
memelihara anaknya.
Hal ini tampaknya juga
diperhatikan dalam Undang-undang Perkawinan, terbukti dengan adanya ayat (2)
dari pasal 43 itu, yang bunyinya: “Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas
selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah”. Peraturan pemerintah itu sampai
sekarang, sebatas pengetahuan penulis belum ada. Mungkin dilema yang dihadapi
pemerintah untuk mengatur lebih lanjut soal anak yang dilahirkan di luar
perkawinan ini adalah kalau anak yang dilahirkan di luar perkawinan itu akan
disamakan kedudukannya dengan anak yang dilahirkan dalam perkawinan, maka
lembaga perkawinan itu sendiri akan goyah keberadaannya .
Sampai
sekarang belum ada undang-undang maupun kebijakan pemerintah yang memihak pada
perlindungan anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal diketahui
banyak anak yang lahir di luar perkawinan disebut dengan sebutan “anak haram”
dan senantiasa mendapatkan perlakuan diskriminatif dan tidak adil di
masyarakat. Jelas sepanjang hidupnya, mereka dipaksa menanggung beban dosa
kedua orang tuanya dan mereka pun selamanya mendapatkan stigma atau julukan
“anak haram” atau “anak jaddah”, dan berbagai julukan negatif lainnya.
Padahal, kelahirannya bukanlah sebuah pilihan mereka (anak). Tidak satu pun
manusia yang memilih sendiri siapa orang tuanya. Bagi anak, kelahiran dan orang
tua merupakan hal yang kodrati (given).
Namun,
situasi itu rupanya akan segera berakhir. Dan problem yang sangat kompleks
karena penafsiran tentang keabsahan perkawinan yang mengandung dualisme
makna antara “sah menurut agama” dan “sah menurut negara” yang memicu maraknya
perkawinan tidak tercatat atau yang sering disebut dengan ‘nikah sirri’;
membawa dampak bagi ketidakjelasan status seorang anak. Oleh karenanya, pada 12
Pebruari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan tentang
status anak di luar nikah. MK menyatakan bahwa bunyi pasal 43 ayat (1) UU No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dan kalimatnya menjadi “anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya.”
Dengan
demikian, putusan mengenai status anak di luar pernikahan ini sejalan
dengan bunyi konvensi CEDAW
(Convention of Ellimination of All Form of Discrimination Against Women)
Pasal 16 ayat (1) butir (d) yang
menekankan pada kepentingan terbaik bagi anak, terlepas dari status perkawinan
orang tua mereka. Ayat tersebutmenyatakan :
“Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai
orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam urusan-urusan yang
berhubungan dengan anak-anak mereka, dalam semua kasus kepentingan anak-anaklah
yang wajib di utamakan”.
Pasal tersebut masih berkaitan
dengan pasal 16 Ayat (1) huruf (f) yang berbunyi :
“Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian, pemeliharaan,
pengawasan dan pengangkatan anak-anak atu lembaga-lembaga yang sejenis dimana
konsep-konsep ini ada dalam undang-undang nasional, dalam semua hal kepentingan
anak-anak yang wajib diutamakan”.
Penekanan maksud dari dua butir pasal CEDAW di atas adalah, mengenai
kepentingan anak yang harus diutamakan oleh orang tua dalam semua kasus dan
urusan. Artinya CEDAW memberikan penekanan perlindungan terhadap anak untuk
mendapatkan hak-hak asasi sebagai seorang anak tanpa batasan sah atau tidaknya
status seorang anak dan status perkawinan orang tuanya.
Upaya untuk melindungi hak-hak asasi anak ini secara
aplikatif dituangkan dalam pasal 16 ayat(1) huruf (c) yang berbunyi
“Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan
perkawinan”.
Hal ini berarti, CEDAW membebankan tanggung jawab yang sama dan setara antara
laki-laki dan perempuan sebagai orang tua anak dalam upaya perlindungan hak-hak
asasi anak tersebut.